Filosofi Lepet Dalam Jawa
Filosofi lepet berasal dari peribahasa Jawa yaitu "Silep Kang Rapet" yang berarti "disimpan baik-baik, rapat-rapat, ditutup baik-baik". Peribahasa ini menjelaskan bahwa segala kesalahan yang telah diakui seseorang harus disimpan rapat dan tidak disinggung atau diceritakan kepada orang lain. Oleh karena lepet pertama kali disimbolisasikan oleh Wali Songo, filosofis lepet sangat terkait dengan nilai-nilai dan budaya Islam. Setiap komponen bahan yang digunakan dalam pembuatan lepet memiliki makna sendiri, sebagai berikut:
1. Ketan yang memiliki tekstur menempel dan lengket satu sama lain menggambarkan ikatan pertemanan yang kuat.
2. Kelapa parut yang memiliki tekstur halus menggambarkan kehalusan perasaan dan sopan santun yang diharapkan terdapat pada umat Islam saat Idul Fitri.
3. Garam menggambarkan keseimbangan hubungan antara komunitas yang harmonis.
4. Janur (daun kelapa muda) yang berasal dari kata "jatining nur" memiliki arti cahaya sejati, menggambarkan sucinya kondisi manusia setelah menerima cahaya sejati selama bulan Ramadhan. Selain itu, kesulitan proses pengambilan janur yang berada pada puncak pohon menggambarkan upaya yang dilakukan umat muslim demi mencapai kesucian.
5. Tali bambu merupakan simbol pertemanan yang kuat karena sifat alami tanaman bambu yang tumbuh berkelompok.
Selain bahan, proses pemasakan lepet yang lama (3-4 jam) menggambarkan kesabaran yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
Lepet yang terdiri dari 4 iratan tali menggambarkan 4 kegiatan dalam "laku papat" yang terdiri dari lebaran (lebar berarti membuka pintu hati lebar-lebar untuk memaafkan sesama), luberan (luber berarti membagikan rejeki melimpah kepada sesama yang membutuhkan), leburan (lebur berarti menghilangkan dosa dengan saling memaafkan satu sama lain), dan laburan (labur berarti kondisi hati manusia yang menjadi suci berwarna putih selayaknya kapur). Proses pembukaan bungkus lepet yang diputar satu per satu dari atas-tengah-bawah menggambarkan bahwa setiap masalah harus diselesaikan selangkah demi selangkah dan secara hati-hati.
Lepet umumnya disajikan bersama dengan kupat (ketupat) pada hari raya Idul Fitri. Bagi daerah yang tidak memiliki tradisi Syawalan, lepet disajikan pada tanggal 1 Syawal (saat hari raya Idul Fitri). Sedangkan beberapa daerah yang merayakan tradisi Syawalan seperti Jepara, Demak, dan Solo, lepet disajikan pada tanggal 8 Syawal (1 minggu setelah hari raya Idul Fitri). Lepet yang menyimbolkan kesucian dan kebersihan banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai gantungan di depan rumah (atap, pintu, dan lainnya) untuk mengusir hal-hal negatif.
Ritual bernama "Sedekah Laut" atau "Pesta Lomban" di Jepara merupakan ritual adat terkenal yang melibatkan lepet dalam beberapa rangkaian prosesi acaranya yaitu larungan, perang teluk, dan festival kupat lepet. Pada prosesi larungan, kapal berisikan kepala kerbau dan beberapa persembahan termasuk lepet dihanyutkan di laut. Pada perang teluk, lepet dan kupat digunakan sebagai "amunisi" untuk memperingati situasi perperangan antara Ratu Kalinyamat dengan Malaka. Pada festival kupat lepet, lepet disusun dalam bentuk gunungan dengan jumlah lepet sesuai tahun diadakannya festival tersebut. Gunungan lepet tersebut akan dibagikan kepada sesama yang menyimbolkan pengampunan dan kemurahan hati.
Selain Pesta Lomban, terdapat beberapa ritual atau acara yang juga melibatkan lepet dalam prosesinya seperti Gumbregan di Kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta; Larungan di Ponorogo; Upacara Tradisional Perang Obor, Sesaji Rewanda di Gua Kreo; Rebo Kasan; dan lainnya. Lepet umumnya dijadikan sebagai salah satu bahan sesaji dalam prosesi acara-acara tersebut.
Lepet umumnya disajikan bersama dengan kupat (ketupat) pada hari raya Idul Fitri. Bagi daerah yang tidak memiliki tradisi Syawalan, lepet disajikan pada tanggal 1 Syawal (saat hari raya Idul Fitri). Sedangkan beberapa daerah yang merayakan tradisi Syawalan seperti Jepara, Demak, dan Solo, lepet disajikan pada tanggal 8 Syawal (1 minggu setelah hari raya Idul Fitri). Lepet yang menyimbolkan kesucian dan kebersihan banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai gantungan di depan rumah (atap, pintu, dan lainnya) untuk mengusir hal-hal negatif.
Ritual bernama "Sedekah Laut" atau "Pesta Lomban" di Jepara merupakan ritual adat terkenal yang melibatkan lepet dalam beberapa rangkaian prosesi acaranya yaitu larungan, perang teluk, dan festival kupat lepet. Pada prosesi larungan, kapal berisikan kepala kerbau dan beberapa persembahan termasuk lepet dihanyutkan di laut. Pada perang teluk, lepet dan kupat digunakan sebagai "amunisi" untuk memperingati situasi perperangan antara Ratu Kalinyamat dengan Malaka. Pada festival kupat lepet, lepet disusun dalam bentuk gunungan dengan jumlah lepet sesuai tahun diadakannya festival tersebut. Gunungan lepet tersebut akan dibagikan kepada sesama yang menyimbolkan pengampunan dan kemurahan hati.
Selain Pesta Lomban, terdapat beberapa ritual atau acara yang juga melibatkan lepet dalam prosesinya seperti Gumbregan di Kawasan Gunung Kidul, Yogyakarta; Larungan di Ponorogo; Upacara Tradisional Perang Obor, Sesaji Rewanda di Gua Kreo; Rebo Kasan; dan lainnya. Lepet umumnya dijadikan sebagai salah satu bahan sesaji dalam prosesi acara-acara tersebut.
Post a Comment for "Filosofi Lepet Dalam Jawa"